KAJIAN KOMPREHENSIF DAN INDEPENDEN
PROYEK JRS/RSCA/JARISCA
DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Tulisan ringkas ini disusun merespon permintaan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon yang disampaikan pada pertemuan pada Kamis, 8 Maret 2012 di Kantor Balai TN Ujung Kulon di Labuan, Pandeglang, Banten. Perlu disampaikan bahwa mengingat kajian lapangan masih berlangsung saat ini, ada kemungkinan bahwa hasil/laporan akhir kajian ini berubah seiring dengan masuknya informasi yang bisa saja diperoleh dalam riset lapangan yang tengah berlangsung.
Setelah rentang 10 tahun sebelumnya terekam banyak perburuan badak, dan pada tahun 1994 pun tercatat perburuan dan penjualan cula badak di Ujung Kulon, pada tahun 1995Nico van Strien dan Haerudin Sadjudin mengusulkan pembentukan Isthmus Protection Zone (IPZ) di Taman Nasional Ujung Kulon. IPZ merupakan satu pendekatan utuh pengelolaan di kawasan isthmus Ujung Kulon dengan menjadikan bagian isthmus seluas 1.300 ha sebagai kawasan penangkapan, habituasi, dan tempat pengamatannya di bagian barat; dan 1.250 hektar berikut di sebelah timurnya sebagai kawasan yang diisolasi pagar beraliran listrik yang merupakan isolasi badak. Usulan yang tercatat sebagai AsRSG Report ini sejatinya tidak hanya sebagai zona perlindungan dan pengelolaan intensif, tapi juga sebagai upaya perluasan habitat badak dari Semenanjung Ujung Kulon hingga meluas ke kawasan Gunung Honje1. Perlu dicatat, bahwa pada saat itu konsep kelola Taman Nasional Ujung Kulon belum sepenuhnya integratif karena masih berusia 3 tahun sejak ditunjuk melalui Kepmenhut No. 284/Kpts-II/92 tahun 1992 yang menyatupadukan Cagar Alam (CA) Gunung Honje, CA Pulau Panaitan, CA Pulau Peucang, dan CA Ujung Kulon sebagai satu taman nasional.
Dengan hanya melakukan survey lapangan ke Semenanjung Ujung Kulon dan areal yang berdekatan di kawasan Gunung Honje, serta pada beberapa titik di TN Gunung Halimun Salak, plus analisis data sekunder terhadap kawasan CA Leuweung Sancang dan Masigit Kareumbi, disimpulkan bahwa kawasan yang disurvey di Gunung Honje lebih baik bagi badak dibanding kawasan TN Gunung Halimun Salak, CA Leuweung Sancang, dan Masigit Kareumbi. Sebuah kesimpulan yang tidak mengejutkan karena kawasan Gunung Honje tersebut termasuk kawasan Ujung Kulon, dahulu merupakan habitat badak, dan bahkan hingga saat ini masih didatangi beberapa individu badak secara temporer. Yang mengejutkan adalah rekomendasi dokumen yang tidak memuat satu kata pun tentang pagar (fence) itu yang tiba-tiba mengusulkan “mengembangkan javan rhino research and conservation area” di sana.
Padahal, proposal tersebut tidak mencantumkan “persetujuan” dari atasan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon karena seharusnyalah demikian mengingat pemohon dalam proposal JRS/JRSCA/Jarhisca adalah Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan Ketua Pengurus YABI. Keputusan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon di atas pun hanya memutuskan 6 (enam) hal, yakni pembangunan JRSCA (diktum pertama), rincian aktivitas berupa pembuatan pagar pada titik tertentu, peningkatan kesadaran, pemahaman, dan dukungan bagi konservasi badak, serta penilaian habitat dalam JRSCA (diktum kedua), pembentukan tim kerja (diktum ketiga), pengaturan pendanaan yang akan bersumber dari IRF melalui YABI (diktum keempat), masa berlaku (12 bulan) keputusan tersebut (diktum kelima), dan penutup (diktum keenam).
Selain itu, analisis resiko lingkungan (environmental risk assessment – ERA) terhadap proyek tersebut telah mengidentifikasi beberapa resiko yang harus diantisipasi, yakni: (1) hambatan terhadap pergerakan satwaliar, (2) fragmentasi habitat,(3) kompetisi, (4) konflik manusia – satwaliar, dan (5) konflik masyarakat – taman nasional. ERA pun menyarankan agar memperbaiki/merevisi perencanaan dan desain JRS (JRSCA atau Jarhisca) yang kelak harus ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih detail7. Pembuldozeran yang menabrak aturan dan kajian dampak tersebut melengkapi rentetan dugaan pelanggaran dalam rangka proyek ini, seperti dugaan manipulasi argumen sehingga terjadi perubahan zona inti menjadi zona rimba untuk kawasan-usulan-JRS/JRSCA/Jarhisca8 dan pengoperasian helikopter di dalam kawasan habitat badak dengan penumpang Ketua Pengurus YABI dan petinggi Asia Pulp and Paper (APP) hanya untuk meninjau lokasi proyek JRS/JRSCA/Jarhisca guna mendapatkan dukungan dana dari APP9yang diduga mengakibatkan berubahnya distribusi badak saat inventarisasi sehingga hanya terekam 6 badak pada saat inventarisasi tersebut10.
Sekedar menyebut beberapa, berikut pertanyaan-pertanyaan yang semestinya dijawab oleh JRS/JRSCA/Jarhisca melalui dokumen-dokumen pelengkap perijinan dan prosedur administrasinya;
- Berapa badak yang akan dipindah dan dimasukkan dalam wilayah JRS/JRSCA/Jarhisca.
- Sebelumnya, tentu penentuan jumlah ini berdasar pada jawaban dari pertanyaan berapa jumlah sebenarnya badak jawa di TNUK. Selama setidaknya 20 tahun terakhir jumlah badak selalu dalam rentang yang lebar (mis, 50 – 60, 46 - 5411)
- Bagaimana komposisi dan sex ratio populasi badak di JRSCA,
- Bagaimana metodologi pemilihan individu badak yang akan dimasukkan ke wilayah JRS/JRSCA/Jarhisca,
- Bagaimana translokasi badak ke JRS/JRSCA/Jarhisca,
- Bagaimana cara eksaminasi reproduksi badak di wilayah JRS/JRSCA/Jarhisca,
- Treatment-treatment apa yang akan dilakukan terhadap badak di JRS/JRSCA/Jarhisca,
- Bagaimana assessment efek isolasi badak di dalam JRS,
- Bagaimana assessment penyakit dan berbagai varibel kesehatan satwa lainnya di dalam kawasan JRS/JRSCA/Jarhisca,
- Bagaimana penyusunan Standard Operation Procedure (SOP) masing-masing treatment terhadap badak di JRS/JRSCA/Jarhisca,
- Bagaimana kelembagaan pengelola JRS/JRSCA/Jarhisca (setelah mempelajari lesson learntSRS),
- Bagaimana antisipasi dan resolusi terhadap problema sosial yang mungkin timbul akibat proyek ini,
- Dan berbagai pertanyaan mendasar lainnya.
Penelitian yang kini dilakukan oleh Mapala dan mitra-mitranya secara preliminary menangkap beberapa dugaan pelanggaran hukum –selain yang telah disebut di atas– yang telah terjadi sehubungan dengan Proyek JRS/JRSCA/Jarhisca, seperti;
- Lebar ruas pembuldoseran yang jauh melebihi usulan dalam proposal,
- Terdapat ruas yang dibuldoser yang tidak tercantum dalam proposal (dua ruas yang totalnya sekitar 2 km dengan lebar lebih dari 10 m),
- Kayu bekas buldoser raib.
- Hingga 7 April 2011, pernah ada pertemuan dengan warga, tapi tidak membicarakan JRSCA, hanya tentang pemberdayaan masyarakat seperti rencana bagi-bagi bibit, bertanya tentang aspirasi masyarakat terhadap TNUK.Sesudah 7 April 2011, belum ada kegiatan sosialisasi kepada masyarakat secara keseluruhan, hanya pendekatan terhadap orang-orang tertentu.
- Keberatan terbesar masyarakat adalah tergusurnya lahan garapan yang merupakan mata pencaharian utama, terutama di Kampung Legon Pakis. Pemberian kompensasi Rp 1,5juta dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang dirasakan masyarakat. Keputusan yang hanya mengganti lahan sawah, lahan garapan kebun yang tergusur tidak diberi kompensasi, pun berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Meski demikian, terdapat beberapa indikasi bahwa belum seluruh masyarakat yang lahannya tergusur telah diberikan kompensasi. Ada janji untuk mengkompensasi lahan yang dibuldoser dan atau terdampak JRSCA dengan menjadikan pengelola lahan tersebut sebagai pekerja proyek JRSCA. Akan tetapi, implementasi janji ini menimbulkan potensi konflik baru karena ada yang dapat kadeudeuh justru dipekerjakan sedangkan banyak yang tidak dapat kadeudeuh tidak dipekerjakan di proyek, baik karena tidak ditawarkan ataupun karena ditolak.
- Terdapat beberapa responden yang menyampaikan bahwa waktu pembuldoseran tidak disosialisasikan, terutama yang terdampak sehingga mereka tidak sempat bersiap menyelamatkan asset yang tersisa.
- Tidak ada kejelasan bagaimana pengelolaan kayu yang terkena buldoser di lahan garapan masyarakat (baca: pohonnya mereka tanam sendiri, seperti albasia, bayur, jengkol, petai, kelapa, dll). Pernah dijanjikan bahwa separuh dari tanaman tersebut akan diserahkan ke pengelola lahan, sedang sisanya akan digunakan untuk bahan baku fasilitas umum dan penduduk kurang mampu secara ekonomis, seperti mesjid, kebutuhan janda tua sebatang kara (bukan “janda kembang”). Dalam kenyataaannya, separuh bagian yang dijanjikan untuk fasilitas umum dan kebutuhan penduduk kurang mampu secara ekonomis ini tidak direalisasikan.
- Ada kekhawatiran terganggunya akses masyarakat memasuki taman nasional, seperti para peziarah dan kuncen (pengelola situs peziarahan), pencari madu, pencari kayu bakar, dan lain-lain.
- Ada persepsi sebagai korban ketidakadilan dan diskrimasi hukum di kalangan masyarakat karena selama ini masyarakat kerap diproses hukum secara tegas bila dituduh melakukan perusakan hutan, namun hal yang sama tidak berlaku bagi proyek JRSCA dan kroninya yang sudah membuldoser hutan dan mencuri kayu bekas buldoser.
- Masuknya buldoser telah merusak banyak gorong-gorong jalan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Hingga saat ini, gorong-gorong tersebut belum sepenuhnya diperbaiki oleh proyek dan atau kontraktornya.
- Kegiatan manajemen habitat merupakan hal yang positif secara teknis konservasi badak. Kegiatan ini merupakan kegiatan prioritas pengelolaan TNUK dengan atau tidak dengan JRS/JRSCA/Jarhisca. Namun demikian, jelas bahwa manajemen habitat tidak membutuhkan pagar.
- JRS/JRSCA/Jarhisca terbukti menjadi hal yang bisa menarik semakin banyak pihak terlibat dalam konservasi badak. Seyogianyalah Pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk peningkatan sumberdaya dan efektivitas tindakan konservasi badak jawa di Ujung Kulon (kembali, tanpa harus memagarinya, apalagi membelah habitat).
- Proyek ini menguntungkan secara ekonomis bagi sekelompok kecil masyarakat lokal, baik yang dipekerjakan, kontraktor proyek, dan lain-lain. Proyek ini juga memberikan manfaat langsung jangka pendek bagi pekerja dan atau kontraktor karena besaran tingkat upahnya relatif lebih tinggi dari rata-rata kegiatan ekonomi di Taman Jaya dan sekitarnya. Selain itu, proyek ini pun dalam jangka pendek menjadi penambah sumber perputaran uang di tingkat lokal.
- Penegakan hukum tanpa kompromi, termasuk terhadap perijinan maupun pelanggaran yang sudah terjadi karena implementasi proyek hingga saat ini.
- PHKA membuat panduan prosedural perencanaan, kajian dampak, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi proyek-proyek konservasi di dalam kawasan konservasi. Setelah, Panduan terbit, usulan revisi JRS/JRSCA/Jarisca wajib mengikuti tahapan dan kelengkapan Panduan tersebut.
- ERA harus dilaksanakan dan rekomendasinya harus diikuti.
- Segera sediakan ijin pembinaan habitat yang sudah dan akan berjalan.
- Dalam pengelolan badak ikuti prioritas Strategi dan Rencana Aksi Konservai Badak 2007 – 2017.
- Antisipasi dan siapkan resolusi potensi konflik akibat JRS/JRSCA/Jarisca.
- Renegosiasi dan deliniasi batas-batas kelola masyarakat lokal di dalam kawasan taman nasional. Batas-batas tersebut dapat berupa zona khusus dan atau zona tradisional dan atau zona lain yang sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
No comments:
Post a Comment