Dampak Letusan Gunung Krakatau 1883 - HIMALA UNMA BANTEN

HIMALA UNMA BANTEN, Merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Lestari Alam yang bertempat di Universitas Methlaul Anwar Banten, dan blog ini menyediakan berbagai informasi mengenai lingkungan hususnya informasi Organisasi kami.

Home Top Ad

Post Top Ad

Space Iklan

7/12/2018

Dampak Letusan Gunung Krakatau 1883

Dampak Letusan Gunung Krakatau 1883
Krakatau (English: Krakatoa) adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Sumatra yang termasuk dalam kawasan cagar alam di provinsi Lampung Indonesia. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Nama ini juga digunakan untuk kelompok pulau sekitarnya yang terdiri dari sisa-sisa sebuah pulau yang jauh lebih besar dari tiga puncak gunung berapi yang lenyap dalam letusan dahsyat tahun 1883.
ASAL KATA
Meskipun sebuah pulau di Selat Sunda disebut “gunung runcing” (English: pointed mountain), namun di dunia barat, Krakatau terdapat pada sebuah peta tahun 1611 yang dibuat oleh Lucas Janszoon Waghenaer dengan label “Pulo Carcata” (pulo adalah kata Sunda untuk “pulau”). Sekitar dua lusin varian nama disematkan kepadanya, termasuk CrackatouwCracatoa, dan Krakatao (dalam ejaan Portugis lama). Ejaan Krakatau pertama kali diperkenalkan oleh Wouter Schouten, sebagai “pulau tinggi tertutup pohon yaitu Krakatau” pada bulan Oktober 1658. Sementara itu, asal usul nama Indonesia untuk Krakatau tidak jelas.
Program Vulkanisme Global Smithsonian Institution mengutip penamaan asli Indonesia, Krakatau, sebagai nama yang benar, tetapi Krakatoa juga sering digunakan. Ketika nama Krakatoa lebih umum di dunia berbahasa Inggris, namun nama Krakatau cenderung lebih disukai oleh orang lain, termasuk ahli geologi.
MELETUSNYA GUNUNG KRAKATAU PURBA
Dari data-data yang didapatkan di kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini tersusun dari bebatuan andesitik.
Waktu terjadinya letusan tidak terdeteksi dengan jelas. Hanya saja, ada catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula …. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra.
Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung-jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.
Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.
Letusan Gunung Krakatau Purba ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
ERUPSI TAHUN 1883
Sebelum erupsi tahun 1883, Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Sejak tanggal ini, aktivitas seismik mulai terjadi di sekitar gunung secara intens dengan serangkaian letusan yang lebih ringan, setelah 200 tahun tertidur. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Intensitas ini berlanjut dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.
Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, terjadi rangkaian empat ledakan besar pada gunung tersebut yang hampir menghancurkan seluruh pulau. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geographic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Efek gabungan dari aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami menghasilkan efek bencana di wilayah seluruh dunia. Letusan Krakatau paling terkenal memuncak dalam serangkaian ledakan besar, yang termasuk salah satu di antara peristiwa vulkanik paling kejam dalam sejarah.
Korban Jiwa
Letusan itu sangat dahsyat, menurut catatan resmi colonial Hindia Belanda, 165 desa dan kota di dekat Krakatau hancur, dan 132 rusak berat, dan awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa (sumber lain menyebutkan 36.417 kematian), meskipun beberapa sumber memberikan perkiraan lebih dari 120.000. Mereka berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Ada banyak laporan didokumentasikan dari kelompok tengkorak manusia yang mengambang di Samudra Hindia di atas rakit apung vulkanik dan menyapu pantai timur Afrika sampai satu tahun setelah letusan.
Suara Ledakan
Suara letusan itu terdengar 4.830 km (3.000 mil) jauhnya di Alice Springs Australia ke arah timur dan Pulau Rodrigues dekat Mauritius Afrika, sejauh 4.653 kilometer ke arah barat. Ledakan ini dianggap sebagai suara paling keras yang pernah terdengar dalam sejarah modern, bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi waktu itu. Suara letusan itu dilaporkan begitu keras sehingga apabila ada orang dalam radius sepuluh mil (16 km), maka mereka akan menjadi tuli. Dengan perkiraan Volcanic Explosivity Index (VEI) mencapai 6, letusan itu setara dengan ledakan 200 megaton TNT (840 PJ) – kurang lebih 13.000 kali dampak bom nuklir Little Boy (13-16 kt) yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, selama Perang Dunia II, dan empat kali dampak Tsar Bomba (50 Mt), perangkat nuklir paling kuat yang pernah diledakkan.
Tsunami
Ledakan Krakatau mengakibatkan tsunami yang dahsyat. Sampai sebelum tragedi Tsunami Aceh tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Gelombang tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7000 kilometer. Tsunami (gelombang laut) naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.
Perubahan Iklim
Letusan Krakatau menghasilkan musim dingin vulkanik (mengurangi suhu di seluruh dunia dengan rata-rata 1,2 °C selama 5 tahun). Letusan ini menyebabkan perubahan iklim global. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York. Suhu global rata-rata turun sebanyak 1,2 derajat Celsius sampai satu tahun setelah letusan. Pola cuaca kemudian menjadi kacau selama bertahun-tahun dan suhu tidak kembali normal sampai 1888.
Material Muntahan
Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanis terdorong hingga ketinggian 80 km (50 mil). Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru. Sebanyak 20 juta ton sulfur dilepaskan ke atmosfer. Letusan tahun 1883 mengeluarkan sekitar 25 km3 (6 mil kubik) batu.
Dampak Fisik Geografi
Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter dan menghancurkan lebih dari dua pertiga dari pulau Krakatau.
Gelombang
Gelombang kejut dari ledakan yang direkam pada barographs seluruh dunia. Beberapa barographs mencatat gelombang tujuh kali selama lima hari. Empat kali berupa gelombang menjauh dari gunung ke titik antipodal-nya, dan tiga kali gelombang balik kembali ke gunung. Dengan kata lain, gelombang itu telah mengelilingi bumi tiga setengah kali putaran.

KEMUNCULAN ANAK KRAKATAU

Pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau muncul sebuah pulau baru yang dikenal sebagai Anak Krakatau (English: Child of Krakatoa) dari kaldera yang terbentuk pada tahun 1883 yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci) per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40 kaki). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500 kaki) lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Pada saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut. Letusan periodik telah berlanjut, dengan letusan terakhir pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012. Pada akhir 2011, pulau ini memiliki radius sekitar 2 kilometer (1,2 mil), dan titik tinggi sekitar 324 meter (1.063 kaki) di atas permukaan laut, atau sudah tumbuh 5 meter (16 kaki) setiap tahun.
Prediksi Letusan di Masa Depan
Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatra yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.
Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya. Anak Krakatau saat ini secara umum oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan “Gunung Krakatau” juga, meskipun sesungguhnya adalah gunung baru yang tumbuh pasca letusan sebelumnya.
Perbandingan Letusan dengan Gunung Lain
Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau (1883) dan ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.
Ledakan Krakatau tahun 1883 ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru, dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf bawah laut sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut. Gunung Krakatau yang meletus, getarannya terasa sampai Eropa.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Post Top Ad